ringgit-wacucal.blogspot.com ad tags Popunder Popunder_1 JS SYNC (NO ADBLOCK BYPASS) SocialBar SocialBar_1 JS SYNC (NO ADBLOCK BYPASS)

Wednesday, October 19, 2022

Allah Sesuai Persangkaan Hambanya.

 


حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ‏ "‏ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً ‏"‏‏.‏


(Sahih Bukhari :9:93:502)

Diriwayatkan Abu Huraira: Nabi (ﷺ) berkata, "Allah berfirman: 'Aku sesuai persangkaan  hamba-Ku padaKu, (yaitu, Aku dapat melakukan untuknya apa yang dia pikir dapat Aku lakukan untuknya) dan Aku bersamanya jika Dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku juga mengingatnya dalam Diri-Ku; dan jika dia mengingat-Ku dalam sekelompok orang, Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari mereka; dan jika dia datang satu rentang lebih dekat kepada-Ku. Aku, Aku pergi satu hasta lebih dekat kepadanya; dan jika dia datang satu hasta lebih dekat kepada-Ku, Aku pergi sejauh dua tangan terentang lebih dekat kepadanya; dan jika dia datang kepada-Ku berjalan, Aku pergi kepadanya dengan berlari.'


(Sahih Bukhari :9:93:502)

Sumber :


https://sunnah.com/bukhari:7405






Tuesday, October 18, 2022

Shalawat attracting fortune from all directions.


Sholawat for attracting fortune //

Sholawat forr wealth // shalawat //
# shalawatforfortune #shalawatforwealth

For those who get used to reading it, fortune will flow from all corners in addition
 to the reward of this world and the hereafter.


Allaahumma sholli 'alaa sayyidinaa muhammadin 'adada anwa-ir rizqi wal-futuuhaati, yaa baasithul-ladzii yabsuthur-rizqo liman yas-yaa u 
bighoiri hisaabin. ubsuth 'alayya rizqon katsiron min kulli jihatin min khozaa ini rizqika bighoiri minnati makhluuqin. Bifadl-lika wa ka-rornika 
wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa sallim.  


Translation:
O Allah, bestow Salutation on Sayyidina Muhammad  as much as sustenance. 
O Baasith, God Who Has Expanded Sustenance for those whom He wills 
without counting, expand And increase my sustenance from all corners of
Your sustenance treasury without the gift of creatures. Blessing
Your mercy only. And also give Blessing for his f
amily And his Companions And peace.


Sholawat Penarik Rejeki dari segala penjuru.



Solawat penarik rejeki // Shalawat penarik rizki //Salawat rejeki // sholawat rizki //

#SholawatPenarikRejeki #Sholawat Rejeki #ShalawatRizki

 Sholawat Penarik Rejeki dari segala penjuru.

Bagi yang  mendawamkan membacanya akan mengalir rejeki dari segala penjuru disamping pahala dunia dan akhirat,


Allaahumma sholli 'alaa sayyidinaa muhammadin 'adada anwa-ir rizqi 
wal-futuuhaati, yaa baasithul-ladzii yabsuthur-rizqo liman yas-yaa u 
bighoiri hisaabin. ubsuth 'alayya rizqon katsiron min kulli jihatin min 
khozaa ini rizqika bighoiri minnati makhluuqin. Bifadl-lika wa ka-rornika 
wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa sallim.  




Artinya:
Ya Allah, Anugerahkanlah Sholawat Atas Sayyidina Muhammad Sebanyak Rupa-rupa Rezki. Ya Baasith, Tuhan Yang Telah Meluaskan 
Rezki Bagi Orang Yang DikehendakiNya Tanpa Hitungan, Luaskan 
Dan Banyakkanlah Rezkiku  Dari Segenap Penjuru Dari 
Perbendaharaan RezkiMu Tanpa Pernberian Makhluk. Berkat 
KemurahaMu Jua. Dan Anugerahkanlah Juga Sholawat Atas Keluarga 
Dan Para Sahabatnya Serta kedamaian. 

Friday, April 15, 2022

Holy Quran PDF by Muhammad Marmaduke Pickthall

 


Holy Quran PDF by Muhammad Marmaduke Pickthall



Download







Thursday, March 31, 2022

Delik delik Tasawuf dalam Al I-Tishom hal 237

Kitab Al- i’tisham (Imam Syatibi)  Tasawwuf Bukan Bid’ah

Imam Asy-syatibi (Penulis Kitab Al-I’tisham) 

al i'tisham cover

al i'tisham 237 delik tasawwuf

“3. Delik-delik Tasawuf………………………………………………..237

3. Delik-delikTasawuf
Tasawuf bukan termasuk perkara bid’ah dan bukan pula permasalahan yang dapat dipecahkan dengan dalil secara mutlak, karena perkara ini terbagi-bagi…..dst.” (Kitab Tarjamah Al-I’tisham, Delik delik tasawwuf, halaman 237 ).



Downliad Al I-Tishom



Tuesday, March 22, 2022

Membedah Azkar Nawawi





Maka tersebutlah di dalam kitab “al-Adzkar” yang masyhur karya ulama waliyUllah terbilang, Imamuna an-Nawawi ‘alaihi rahmatul Bari, pada halaman 258, antara lain:-


“…. Dan para ulama telah berbeza pendapat mengenai sampainya pahala bacaan al-Quran (kepada si mati). Maka pendapat yang masyhur daripada mazhab asy-Syafi`i dan sekumpulan ulama bahawasanya pahala bacaan al-Quran tersebut tidak sampai kepada si mati. Imam Ahmad bin Hanbal serta sekumpulan ulama yang lain dan sekumpulan ashab asy-Syafi`i (yakni para ulama mazhab asy-Syafi`i) berpendapat bahawa pahala tersebut SAMPAI. Maka (pendapat) yang terpilih adalah si pembaca al-Quran tersebut hendaklah berdoa setelah bacaannya : “Ya Allah sampaikanlah pahala apa-apa yang telah aku bacakan kepada si Fulan.”


A. Dalam Madzab Imam syafei


Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”


Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :


1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai


2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.


Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :


“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.


Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :


“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.


Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :


“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.


Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;


1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.


2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.


Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).


Allahu … Allah, maka di manakah dinyatakan bahawa dalam “al-Adzkar,” Imam an-Nawawi menyatakan pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada si mati? WAHAI PENDUSTA WAHHABY TUNGGULAH SIKSA ALLAH KEATAS PARA KALIAN  DI DUNIA DAN AKHIRAT!!!!!


B. Ibnu Taymiyah Katakan sampainya pahala bacaan dzikir/al qur’an yang dihadiahkan


tentang hadiah pahala, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa jilid 24 halaman 306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”. (Scan kitab klik di sini)


Hal senada juga diungkapkannya berulang-ulang di kitabnya, Majmu’ Fatawa, diantaranya  pada Jilid 24 hal. 324 (lihat scan kitab dibawah atau klik di sini)


C. Ibnul Qayyim (Scan Kitab Ar-ruh) : Sampainya hadiah bacaan Alqur’an dan Bolehnya membaca Al-Qur’an diatas kuburan


Scan Kitab bahasa Arab :


Cover :


kitab aroh arab cover


Baca Yang berwarna Merah  (page 5 digital book):


Aroh arab page 5ok


kitab ar-rooh (ar-ruh digital) Bisa di download di :


http://www.scribd.com/doc/21496576/alrooh


Scan kitab ar-ruh tarjamah (bahasa melayu) :


cover :


kitab ar-ruh ibnu qayyim_0004


Kitab ar-ruh :


kitab ar-ruh ibnu qayyim_0003


kitab ar-ruh ibnu qayyim_0002


Teks Arab Kitab Arruh Ibnu qayyim pada halaman 5 (kitab digital) :


وقد ذكر عن جماعة من السلف أنهم أوصوا أن يقرأ عند قبورهم وقت الدفن قال عبد الحق يروى أن عبد الله بن عمر أمر أن يقرأ عند قبره سورة البقرة وممن رأى ذلك المعلى بن عبد الرحمن وكان الامام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع عن ذلك   وقال الخلال في الجامع كتاب القراءة عند القبور اخبرنا العباس بن محمد الدورى حدثنا يحيى بن معين حدثنا مبشر الحلبى حدثني عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه قال قال أبى إذا أنامت فضعنى في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن على التراب سنا واقرأ عند رأسى بفاتحة البقرة فإنى سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك قال عباس الدورى سألت أحمد بن حنبل قلت تحفظ في القراءة على القبر شيئا فقال لا وسألت يحيى ابن معين فحدثنى بهذا الحديث   قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ


وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال لا بأس بها   وذكر الخلال عن الشعبي قال كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن قال وأخبرني أبو يحيى الناقد قال سمعت الحسن بن الجروى يقول مررت على قبر أخت لي فقرأت عندها تبارك لما يذكر فيها فجاءني رجل فقال إنى رأيت أختك في المنام تقول جزى الله أبا على خيرا فقد انتفعت بما قرأ أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك


Membaca Al-qur’an Diatas Kubur Dan Mengadiahkan Pahalanya bagi Mayyit (Muslim)


Tarjamahannnya :


Pernah disebutkan daripada setengah para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan diatas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata abdul haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin umar pernah menyuruh supaya diabacakan diatas kuburnya surah al-baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh mu’alla bin hanbal, pada mulanya mengingkari pendapat ini kerana masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.


Berkata Khallal di dalam kitabnya ‘Al-jami’ : Telah berkata kepadaku Al-Abbas bin Muhammad Ad-dauri, berbicara kepadaku Abdul Rahman bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, katanya : Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalam lahad, kemudian sebutkanlah : Dengan Nama Allah, dan atas agama Rasulullah !, Kemudian ratakanlah kubur itu dengan tanah, kemudian bacakanlah dikepalaku dengan pembukaan surat albaqarah, kerana aku telah mendengar Abdullah bin Umar ra. Menyuruh membuat demikian. Berkata Al-Abbas Ad-Dauri kemudian : Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal, kalau dia ada menghafal sesuatu tentang membaca diatas kubur. Maka katanya : Tidak ada ! kemudian aku bertanya pula Yahya bin Mu’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.


Berkata Khallal, telah memberitahuku Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Muwaffa Al-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya :Sekalai peristiwa saya bersama-sama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang yang buta membaca sesuatu diatas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya : Wahai fulan ! Membaca sesuatu diatas kubur adalah bid’ah !. Apa bila kita keluar dari pekuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari kepada Imam Ahmad bin Hanbal : Wahai Abu Abdullah ! Apa pendapatmu tentang si Mubasysyir Al-Halabi ? Jawab Imam Ahmad : Dia seorang yang dipercayai. Berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari seterusnya : Aku menghafal sesuatu daripadanya ! Sangkal Imam Ahmad bin Hanbal : Yakah, apa dia ? Berkata Muhammad bin Qudamah : Telah memberitahuku Mubasysyir, daribada Abdul Rahman Bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, bahwasanya ia berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan dikepalanya ayat-ayat permulaan surat Al-Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil katanya : Aku mendengar Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mewasiatkan orang yang membaca demikian itu.


Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah : Kalau begitu aku tarik tegahanku (Bhs Ind : penolakanku ) itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.


Berkata Al- Hasan  bin As-sabbah Az-za’farani pula : Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu diatas kubur orang, maka Jawabnya : Boleh, Tidak mengapa !


Khalal pun telah menyebutkan lagi dari As-sya’bi, katanya : Adalah Kaum Anshor, apabila mati seseorang diantara mereka, senantiasalah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu daripada Al-Qur’an.


Asy-sya’bi berkata, telah memberitahuku Abu Yahya An-Naqid, katanya aku telah mendengar Al-Hasan bin Al-Haruri berkata : Saya telah mendatangi kubur saudara perempuanku, lalu aku membacakan disitu Surat Tabarak (Al-Mulk), sebagaimana yang dianjurkan. Kemudian datang kepadaku seorang lelaki danmemberitahuku, katanya : Aku mimpikan saudara perempuanmu, dia berkata : Moga-moga Allah memberi balasan kepada Abu Ali (yakni si pembaca tadi) dengan segala yang baik. Sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dari bacaannya itu.


Telah memberitahuku Al-Hasan bin Haitsam, katanya aku mendengar Abu Bakar atrusy berkata : Ada seorang lelaki datang ke kubur ibunya pada hari jum’at, kemudian ia membaca surat Yasin disitu. Bercerita Abu Bakar seterusnya : Maka aku pun datang kekubur ibuku dan membaca surah Yasiin, kemudian aku mengangkat tangan : Ya Allah ! Ya Tuhanku ! Kalau memang Engkau memberi pahala lagi bagi orang yang membaca surat ini, maka jadikanlah pahala itu bagi sekalian ahli kubur ini !


Apabila tiba hari jum’at yang berikutnya, dia ditemui seorang wanita. Wanita itu bertanya : Apakah kau fulan anak si fulanah itu ? Jawab Abu Bakar : Ya ! Berkata wanita itu lagi : Puteriku telah meninggal dunia, lalu aku bermimpikan dia datang duduk diatas kuburnya. Maka aku bertanya : Mengapa kau duduk disini ? Jawabnya : Si fulan anak fulanah itu telah datang ke kubur ibunya seraya membacakan Surat Yasin, dan dijadikan pahalanya untuk ahli kuburan sekaliannya. Maka aku pun telah mendapat bahagian daripadanya, dan dosaku pun telah diampunkan karenanya.


(Tarjamah Kitab Ar-ruh  Hafidz Ibnuqayyim jauziyah, ‘Roh’ , Ustaz Syed Ahmad Semait, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1990, halaman 17 – 19)


https://salafytobat.wordpress.com/2009/04/23/sampainya-hadiah-bacaan-al-qur%E2%80%99an-untuk-mayyit-orang-mati/


Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)


Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)


A. Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan


1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :


“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”


Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).


Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).


2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan


“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat albaqarah dan akhirnya”


Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.


3. Hadits Riwayat darulqutni


“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.


4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi


“ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.


(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).


5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi


“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.


6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:


“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.


B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit


1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :


“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)


2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :


“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).


3. Berkata Ibnu taymiyah :


“sesungguhnya mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan seumpamanya”. (yas alunka fiddin wal hayat jilid I/442).


Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada mukasurat 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil, bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada simayat muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih,takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus serta baik.


Manakala Wahhabi menolak dan menkafirkan amalan ini.


Di atas pula adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juzuk 24 pada mukasurat 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.


4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah:


“sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442)


Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.


Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).


5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “ Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain demikian daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.


6. Imam sya’bi ; “Orang-orang anshar jika ada diantara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil membaca al-qur’an disampingnaya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).


7. Berkata Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).


8. Berkata Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggak hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).


9. Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).


Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlusunnah yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu panjang.


C. Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya


1. Hadis riwayat muslim :


“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”


Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.


2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :


“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.


Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :


a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :


1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).


2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).


Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.


b. Berkata pengarang tafsir Khazin :


“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.


Jadi ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :


“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.


c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :


“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).


Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :


“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.


Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.


d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.


Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.


3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :


“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.


Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :


“laisa laha illa maa kasabat”


“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.


4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :


“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.


Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :


“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”


Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).


(ringkasan dari Buku argumentasi Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahman, halaman 142-159, mutiara ilmu)


    

Saturday, March 5, 2022

Rasulullah ternyata lebih menghargai budaya

 

حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِيُّ، وَيُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، - وَاللَّفْظُ لِهَارُونَ - قَالاَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنَا عَمْرٌو، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَهُ عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثٍ فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ مِزْمَارُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ‏"‏ دَعْهُمَا ‏"‏ فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا وَكَانَ يَوْمَ عِيدٍ يَلْعَبُ السُّودَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ فَإِمَّا سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَإِمَّا قَالَ ‏"‏ تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ ‏"‏ ‏.‏ فَقُلْتُ نَعَمْ فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ خَدِّي عَلَى خَدِّهِ وَهُوَ يَقُولُ ‏"‏ دُونَكُمْ يَا بَنِي أَرْفَدَةَ ‏"‏ ‏.‏ حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ قَالَ ‏"‏ حَسْبُكِ ‏"‏ ‏.‏ قُلْتُ نَعَمْ ‏.‏ قَالَ ‏"‏ فَاذْهَبِي ‏"‏ ‏.‏

Berkata Aisyah RA : Rasulullah (ﷺ) datang (ke kediamanku) ketika ada dua gadis bersamaku menyanyikan lagu Perang Bu`ath. Dia berbaring di tempat tidur dan memalingkan wajahnya. Kemudian datanglah Abu Bakar dan dia memarahiku dan berkata: Oh! Alat musik setan ini di rumah Rasulullah (saw)! Rasulullah (ﷺ) menoleh ke arahnya dan berkata: Biarkan mereka. Dan ketika dia (Nabi Suci) menjadi lalai, saya memberi isyarat kepada mereka dan mereka pergi, dan itu adalah hari Idul Fitri dan orang-orang kulit hitam bermain dengan perisai dan tombak. (Saya tidak ingat) apakah saya bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) atau apakah dia berkata kepada saya jika saya ingin melihat (olahraga itu). Saya bilang iya. Aku berdiri di belakangnya dengan wajahnya sejajar dengan wajahku, dan dia berkata: Wahai Bani Arfada, sibuklah (dalam olahragamu) sampai aku puas. Dia berkata (kepada saya): Apakah itu cukup? Saya bilang iya.

Sumber 
Sahih Muslim:

Sahih Bukhori

Friday, February 4, 2022

Pemisahan Harta Suami dan Harta Istri



Islam telah memberikan garis pemisah yang jelas antara harta suami dan harta istri dalam sebuah rumah tangga. Di sisi lain, Islam juga mewajibkan seorang suami untuk menafkahi istrinya. Artinya, keduanya memiliki hak atas masing-masing hartanya, namun dalam harta suami ada hak istri, sedangkan harta istri adalah miliknya sendiri. Sehingga andai mereka berdua bercerai – wal ‘iyadzu billah – tidak perlu ada yang namanya pembagian harta gono-gini, karena harta istri adalah miliknya sendiri, sedangkan dalam harta suami ada hak istri.


Lantas, bagaimana dengan suami yang memberikan pinjaman harta kepada istrinya? Maka kita lihat, niatnya meminjam untuk kebutuhan apa? Jika diperuntukkan untuk kebutuhan makan dan berpakaian maka yang seperti ini bukanlah pinjaman, melainkan sebuah bentuk nafkah yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada istrinya.


Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami kepada istrinya. Lantas beliau bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ

“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian.” (HR. Abu Daud no. 2142, shahih)


Hadits ini menjelaskan bagaimana kaedah dalam memberikan nafkah, khususnya pada kebutuhan-kebutuhan primer/pokok. Jika suami makan enak maka sepatutnya istrinya juga diberi makanan yang enak, jika suami berpakaian bagus maka istrinya juga diberi pakaian yang bagus, demikian seterusnya.


Sehingga kalau seorang istri berniat meminjam uang ke suaminya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka dia urungkan niatnya, karena suaminya wajib memberikannya secara cuma-cuma sebagai nafkah dan justru berdosa jika tidak memberikannya. Jadi, sebenarnya istri tidak harus pinjam, suamilah yang harus peka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok istrinya, karena dia akan dimintai pertanggungjawabannya.


Bahkan ketika awal kali seorang suami menikahi istrinya, disyaratkan dia sudah memiliki “al-baa’ah” yaitu kemampuan untuk memberikan nafkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki al-baa’ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)


Sebagian ulama menafsirkan kata “al-baa’ah” dengan kemampuan memberikan nafkah, sebagian lain menafsirkan dengan kemampuan berjimak. Namun pendapat yang terkuat adalah tafsiran yang pertama yaitu kemampuan memberikan nafkah. Tafsir kedua dinilai kurang kurang tepat, karena seruan hadits ini adalah kepada para pemuda. Pemuda hampir bisa dipastikan memiliki kemampuan berjimak, bahkan sebagiannya membara.


Kesimpulannya, harus dilihat sang istri berniat meminjam untuk apa, jika untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka suami wajib memberinya secara cuma-cuma sebagai nafkah. Namun jika digunakan untuk keperluan bisnis atau sejenisnya maka statusnya mungkin bisa sebagai pinjaman.


Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)


keluarga, nafkah, rumah

Thursday, February 3, 2022

Mahzab Syafi'i, Antara Relegiusitas dan Spiritualitas

Antara Fakih dan Sufi menurut pandangan Imam Syafi' | Mahzab Syafi'i, Antara Relegiusitas dan Spiritualitas

 

‎فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا *

 فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى 

* وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah  mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf sekaligus, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih saja maka dia itu kejam , hatinya tidak bertakwa.
Sedangkan yang hanya menjalani tasawuf saja maka dia día jahil,  akalnya tidak bertakwa,
 maka bagaimana bisa dia menjadi baik?

(Diwan Imam Syafi'i)




HADIS PUASA DI WAKTU RAJAB



Imam al-Nawawi berkata:

“Tidak ada larangan dan pujian yang ditetapkan untuk bulan Rajab itu sendiri, NAMUN, 
(1) prinsip tentang puasa adalah bahwa itu terpuji dalam dirinya sendiri, dan 
(2) dalam Sunan Abu Dawud Nabi telah membuat puasa bulan-bulan suci yang terpuji, dan Rajab adalah salah satunya.”

Hadits Puasa Rajab

1. Utsman ibn Hakim al-Ansari berkata: “Saya bertanya kepada Saʿeed ibn Jubayr tentang puasa di Rajab, dan kami kemudian melewati bulan Rajab, dimana dia berkata: “Saya mendengar Ibn Abbas berkata: “Rasulullah menggunakan untuk berpuasa terus menerus sehingga kami pikir dia tidak akan membatalkannya, dan tidak melakukannya terus menerus sehingga kami pikir dia tidak akan berpuasa." Muslim dan Abu Dawud menceritakannya dalam Kitab al-sawm, masing-masing dalam bab tentang puasa di luar Ramadhan, dan dalam bab puasa di bulan Rajab.

Imam Nawawi berkata: “Tampaknya makna yang disimpulkan oleh Saʿeed ibn Jubayr dari laporan Ibn Abbas adalah bahwa puasa di bulan Rajab tidak dilarang dan tidak dianggap terpuji, melainkan hukumnya sama dengan bulan-bulan lainnya. Tidak ada larangan dan terpuji yang ditetapkan untuk bulan Rajab itu sendiri, namun prinsip tentang puasa adalah bahwa itu terpuji dalam dirinya sendiri, dan dalam Sunan Abu Dawud(*) Nabi telah menjadikan puasa suci bulan terpuji, dan Rajab adalah salah satunya. Dan Allah lebih mengetahui.” Sharh Sahih Muslim Kitab 13 Bab 34 #179.

(*) Kitab al-siyam, Bab: "Puasa Selama Bulan Suci". Juga dalam Ibn Majah dan Ahmad, hadits tentang orang yang mengulangi: "Saya dapat menanggung lebih banyak," dan kepada siapa Nabi akhirnya berkata: "Puasalah selama bulan-bulan suci." Maka bahwa Ibn Umar menetapkan berpuasa selama bulan-bulan suci: Musannaf Abd al-Razzaq 4:293, Musannaf Ibn Abi Shayba 1:125.

2. Abdullah, budak Asma' putri Abu Bakar, paman dari pihak ibu dari putra 'Ata', melaporkan: "Asma' mengirim saya ke Abdullah bin Umar dengan mengatakan: "Telah sampai kepada saya kabar bahwa Anda melarang penggunaan dari tiga hal: jubah bergaris, kain sadel yang terbuat dari sutra merah, dan puasa sebulan penuh Rajab." Abdullah berkata kepadaku: "Sejauh apa yang kamu katakan tentang puasa di bulan Rajab, bagaimana dengan orang yang menjalankan terus menerus? puasa? Dan sejauh apa yang kamu katakan tentang pakaian bergaris, aku mendengar Umar ibn al-Khattab mengatakan bahwa dia telah mendengar dari Rasulullah : "Barangsiapa yang memakai pakaian sutra, tidak ada bagian baginya (di akhirat)." Dan saya khawatir garis-garis itu adalah bagian darinya. Dan sejauh menyangkut kain sadel merah, inilah kain sadel Abdullah [=miliknya] dan berwarna merah. Aku kembali ke Asma' dan memberitahunya, jadi dia berkata: "Ini adalah jubah (jubba) Rasulullah ," dan dia mengeluarkan kepadaku jubah yang terbuat dari kain Persia dengan ujung (sutra) brokat, dan lengannya dibatasi dengan brokat (sutra), dan berkata: "Ini adalah jubah Rasulullah dengan A'isha sampai dia meninggal, kemudian aku memilikinya. Rasulullah biasa memakainya, dan kami mencucinya untuk sakit sehingga mereka dapat berobat dengannya."" Muslim menceritakan dalam bab pertama Kitab al-libas.

Nawawi berkata: “Jawaban Ibnu Umar tentang puasa Rajab adalah mengingkari apa yang telah didengar Asma' tentang larangannya, dan ini merupakan penegasan bahwa dia berpuasa Rajab secara keseluruhan dan puasa secara permanen, yaitu kecuali hari-hari 'Id dan tashriq. Ini adalah mazhabnya dan mazhab ayahnya Umar ibn al-Khattab, A'isha, Abu Talha, dan lainnya dari Salaf serta Syafi'i dan ulama lainnya. Posisi mereka adalah puasa abadi adalah tidak dibenci (makruh).”

[Pendapat lain diriwayatkan dari Ibn Umar melalui sebuah hadits dari Ahmad yang dilaporkan dalam "al-Mughni" 3: 167 dimana dia tidak menyukai orang-orang yang berpuasa seluruh Rajab tetapi berkata: "Puasa sebagian dan berbuka sebagian." ]

* * * * *

Nawawi menambahkan: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa dianjurkan untuk mencari berkah melalui peninggalan orang-orang shalih dan pakaian mereka (wa fi hadha al-hadits dalil ala istihbab al-tabarruk bi aathaar al-salihin wa thiyabihim).” Sharh sahih Muslim Kitab 37 Bab 2 #10.

3. Bayhaqi menceritakan dalam Shuʿab al-iman (#3802): 
Abu Abdallah al-Hafiz dan Abu Muhammad ibn Abi Hamid al-Muqri berkata:
dari Abu al-ʿAbbas al-Asamm, 
dari Ibrahim ibn Sulayman al-Barlisi, 
dari Abdallah ibn Yusuf, 
dari Amer ibn Shibl, 
yang berkata: "Saya mendengar Abu Qilaba berkata:

“Ada istana di surga bagi orang yang berpuasa di bulan Rajab.”

Bayhaqi menambahkan: "Bahkan jika itu adalah mawquf di Abu Qilaba (yaitu tidak ditelusuri kembali ke Nabi) yang merupakan salah satu Penerus, seperti dia tidak mengatakan ucapan seperti itu kecuali jika itu terkait dengannya oleh seseorang yang telah mendengarnya. dari dia kepada siapa wahyu datang (yaitu Nabi ), dan kelanjutannya adalah dari Allah.""

Sholawat dan Salam atas Nabi, Keluarga, dan Sahabatnya 
GF Haddad ©

Monday, January 3, 2022

SANAD KEILMUAN IMAM SYAFI’I MADZHAB UTAMA NAHDLOTUL ULAMA


SANAD ILMU IMAM SYAFI’I (MADZABNYA NAHDLATUL ULAMA)

SANAD KEILMUAN IMAM SYAFI’I MADZHAB UTAMA NAHDLOTUL ULAMA)
sanad madzab syafii arab

Sanad Imam Syafi’i (w. 204 H) kepada Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallam memiliki 2 Jalur, Jalur Imam Malik dan Jalur Imam Abu Hanifah.

1. Jalur Imam Malik

Imam Malik bin Anas (w. 179 H, Pendiri Madzhab Malikiyah) berguru kepada ① Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H), ② Nafi’ Maula Abdillah bin Umar (w. 117 H),
③ Abu Zunad (w. 136 H), ④ Rabiah al-Ra’y (w. 136H), dan ⑤ Yahya bin Said (w. 143 H)Kesemuanya berguru kepada ① Abdullah bin Abdullah bin Mas’ud (w. 94 H), ② Urwah bin Zubair (w. 94 H), ③ al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar(w. 106 H), ④ Said bin Musayyab (w. 94 H), ⑤ Sulaiman bin Yasar (w. 107 H), ⑥ Kharihaj bin Zaid bin Tsabit (w.100 H), ⑦dan Salim bin Abdullah bin Umar (w.106H).Kesemuanya berguru kepada ① Umar bin Khattab (w. 22 H), ② Utsman bin Affan (w. 35 H),③ Abdullah bin Umar (w.73 H), ④ Abdullah bin Abbas (w. 68 H), dan ⑤ Zaid bin Tsabit (w. 45 H).Kesemua Sahabat dari Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama

2. Jalur Imam Abu Hanifah

Imam Syafii berguru kepada Muhammad bin al-Hasan (w. 189 H), berguru kepada Abu Hanifah (w. 150 H, Pendiri Madzhab Hanafiyah), berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H).Berguru kepada ① Ibrahim bin Yazid al-Nakhai (w. 95 H), ② al-Hasan al-Basri (w. 110 H), dan ③ Amir bin Syarahbil (w. 104 H).Kesemuanya berguru kepada ① Syuraihbin al-Haris al-Kindi (w. 78 H), ② Alqamah bin Qais al-Nakhai (w. 62 H), ③Masruq bin al-Ajda’ al-Hamdani (w. 62 H), ④ al-Aswad bin Yazid bin Qais al-Nakhai (w. 95 H).Kesemuanya berguru kepada ① Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) dan ② Ali bin Abi Thalib (w. 40 H)Kesemua Sahabat dari Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama

Madzhab Syafiiyah terdiri dari beberapa generasi (Thabqah).

Thabqah I Murid-Murid Imam Syafi’iAbdullah bin Zubair Abu Bakar al-Humaidi (w. 219 H), Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (w. 231 H), Ishaq bin Rahuwaih (w. 238 H), Abu Utsman al-Qadhi Muhammad bin Syafi’i (w. 240 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H, Pendiri Madzhab Hanbali), Harmalah bin Yahya bin Abdullah al-Tajibi (w. 243 H), Abu Ali al-Husain bin Ali bin Yazid al-Karabisi (w.245 H), Abu Tsaur al-Kulabi al-Baghdadi (w. 246 H), Ahmad bin Yahya bin Wazir bin Sulaiman al-Tajibi (w. 250 H), al-Bukhari (w. 256 H), al-Hasan bin Muhammad bin al-Shabbah al-Za’farani (w. 260 H).

Thabqah II
Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), Ahmad bin al-Sayyar (w. 268 H), al-Rabi’ bin Sulaiman (w. 270 H), Abu Dawud (w. 275 H), Abu Hatim (w. 277 H),al-Darimi (w. 280 H), Ibnu Abi al-Dunya (w. 281 H), Abu Abdillah al-Marwazi (w. 294 H), Abu Ja’far al-Tirmidzi (w. 295 H), Al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H).

Thabqah III
al-Nasai (w. 303 H), Ibnu Suraij (w. 306 H), Ibnu al-Mundzir (w. 318 H), Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H, Imam Ahlissunah Dalam Aqidah), Ibnu al-Qash(w. 335 H), Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340H), al-Mas’udi (w. 346 H), Abu Ali al-Thabari (w. 350 H), al-Qaffal al-Kabir al-Syasyi (w. 366 H), Ibnu Abi Hatim (w. 381 H), Al-Daruquthni (w. 385 H).

Thabqah IV
al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H), Ibnu al-Mahamili (w. 415 H), Mahmud bin Sabaktakin (w. 422 H), Abu Muhammad al-Juwaini (w. 438 H), al-Mawardi (w. 458 H), Ahmad bin Husain al-Baihaqi (w. 458 H), al-Qadhi al-Marwazi (w. 462 H), Abu al-Qasim al-Qusyairi (w. 465 H), Abu Ishaq al-Syairazi (w. 476 H), Imam al-Haramain (w. 478 H), Al-Karmani (w. 500 H).

Thabqah V
al-Ghazali (w. 505 H), Abu Bakar al-Syasyi (w. 507 H), al-Baghawi (w. 516 H), al-Hamdzani (w. 521 H), al-Syahrastani (w. 548 H), al-Amudi (w. 551 H), Ibnu Asakir (w. 576 H), Ibnu al-Anbari (w. 577 H), Abu Syuja’ al-Ashbihani (w. 593 H).

Thabqah VI
Ibnu al-Atsir (w. 606 H), Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), Aminuddin Abu al-Khair al-Tibrizi (w. 621 H), al-Rafii (w. 623 H), Ali al-Sakhawi (w. 643 H), Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H), IbnuMalik (w. 672 H), Muhyiddin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), Al-Baidhawi (w. 691 H).Thabqah

VII
Ibnu Daqiq al-Id (w. 702 H), Quthbuddin al-Syairazi (w. 710 H), Najmuddin al-Qamuli (w. 727 H), Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H), Tajuddin al-Subki (w. 771 H), Jamaluddin al-Asnawi (w. 772 H),Ibnu Katsir (w. 774 H), Ibnu al-Mulaqqin (w. 804 H), al-Zarkasyi (w. 780 H).

Thabqah VIII
Sirajuddin al-Bulqini (w. 805 H), Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H), Ibnu al-Muqri (w. 837 H), Syihabuddin al-Ramli (w. 844 H), Ibnu Ruslan (w. 844 H), Ibnu Zahrah (w. 848 H), Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H), Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Kamaluddin Ibnu Imam al-Kamiliyah (w. 874 H).

Thabqah IX
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), al-Qasthalani (w. 923 H), Zakariya al-Anshari (w. 928 H), Zainuddin al-Malibari (w. 972 H), Abdul Wahhab al-Sya’rani (w. 973 H), Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), al-Khatib al-Syirbini (w. 977 H), Ibnu al-Qasim al-Ubbadi (w. 994 H).

Thabqah X
Syamsuddin al-Ramli (w. 1004 H), Abu Bakar al-Syinwani (w. 1019 H), Syihabuddin al-Subki (w. 1032 H), Ibnu ‘Alan al-Makki (w. 1057 H), al-Raniri (w. 1068 H), Syihabuddin al-Qulyubi (w. 1070 H), Muhammad al-Kaurani (w. 1078 H), Ibrahim al-Maimuni (w. 1079 H), Ali al-Syibramalisi (w. 1078 H), Abdurrauf al-Fanshuri (w. 1094 H).

Thabqah XI
Najmuddin al-Hifni (w. 1101 H), Ibrahim al-Kaurani (w. 1101 H), Ilyas al-Kurdi (w. 1138 H), Abdul Karim al-Syarabati (w. 1178 H), Jamaluddin al-Hifni (w. 1178 H),Isa al-Barmawi (w. 1178 H), Athiyah al-Ajhuri (w. 1190 H), Ahmad al-Syuja’i (w. 1197 H).

Thabqah XII
Abdushomad al-Palimbani (w. 1203 H), Sulaiman al-Jamal (w. 1204 H), Sulaiman al-Bujairimi (w. 1221 H), Arsyar al-Banjari (w. 1227 H), Muhammad al-Syinwani (w. 1233 H), Muhammad al-Fudhali (w. 1236 H), Khalid al-Naqsyabandi (w. 1242 H), Abdurrahman Ba’alawi al-Hadhrami (w. 1254 H), Khatib al-Sanbasi (w. 1289 H), Ibrahim al-Bajuri (w. 1276 H).

Thabqah XIII
Zaini Dahlan (w. 1303 H), al-Bakri Muhammad Syatha (w. 1310 H), Nawawi al-Bantani (w. 1315 H), Shalih Darat (w. 1321 H), Muhammad Amin al-Kurdi (w. 1332 H), Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1334 H), Mahfudz al-Tarmasi (w. 1338 H), Ahmad Khalil al-Bangkalani (w. 1345 H), Yusuf bin Ismail al-Nabhani (w. 1350 H).

Thabqah XIV
KH Hasyim Asy’ari (w. 1367 H), Pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama

Ditandatangani Oleh:
Rais Am
Dr. KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz
Ketua Umum
Dr. KH. Said Aqil Siroj

Diterbitkan Oleh Pengurus Pusat Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama

Referensi:
1. Muhammad Abu Zahrah “al-Syafi’i”
2. Hadlari Bik “Tarikh Tasyri”
3. Sirajuddin Abbas “Tabaqat al-Syafi’iyah”