Abu Hanifah adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan
dengan makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya
al-Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah,
atau lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau
menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia
tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk
Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.
Sesungguhnya
memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata
apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan
kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli
bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik
berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan
seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan
belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Dan
sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi
bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak
dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda,
dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan
(tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki
keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang
sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan
tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat
al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).
Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:
وَاللهُ
تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي
الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ
يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.
“Dan kelak
orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala
mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih),
tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta
tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya
bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak
di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” (
Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h.
136-137).
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam
menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga
akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing.
Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di
dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di
luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang
dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat
Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.
Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق
“Bertemu
dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan
Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar
dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).