ringgit-wacucal.blogspot.com ad tags Popunder Popunder_1 JS SYNC (NO ADBLOCK BYPASS) SocialBar SocialBar_1 JS SYNC (NO ADBLOCK BYPASS)

Friday, February 4, 2022

Pemisahan Harta Suami dan Harta Istri



Islam telah memberikan garis pemisah yang jelas antara harta suami dan harta istri dalam sebuah rumah tangga. Di sisi lain, Islam juga mewajibkan seorang suami untuk menafkahi istrinya. Artinya, keduanya memiliki hak atas masing-masing hartanya, namun dalam harta suami ada hak istri, sedangkan harta istri adalah miliknya sendiri. Sehingga andai mereka berdua bercerai – wal ‘iyadzu billah – tidak perlu ada yang namanya pembagian harta gono-gini, karena harta istri adalah miliknya sendiri, sedangkan dalam harta suami ada hak istri.


Lantas, bagaimana dengan suami yang memberikan pinjaman harta kepada istrinya? Maka kita lihat, niatnya meminjam untuk kebutuhan apa? Jika diperuntukkan untuk kebutuhan makan dan berpakaian maka yang seperti ini bukanlah pinjaman, melainkan sebuah bentuk nafkah yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada istrinya.


Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami kepada istrinya. Lantas beliau bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ

“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian.” (HR. Abu Daud no. 2142, shahih)


Hadits ini menjelaskan bagaimana kaedah dalam memberikan nafkah, khususnya pada kebutuhan-kebutuhan primer/pokok. Jika suami makan enak maka sepatutnya istrinya juga diberi makanan yang enak, jika suami berpakaian bagus maka istrinya juga diberi pakaian yang bagus, demikian seterusnya.


Sehingga kalau seorang istri berniat meminjam uang ke suaminya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka dia urungkan niatnya, karena suaminya wajib memberikannya secara cuma-cuma sebagai nafkah dan justru berdosa jika tidak memberikannya. Jadi, sebenarnya istri tidak harus pinjam, suamilah yang harus peka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok istrinya, karena dia akan dimintai pertanggungjawabannya.


Bahkan ketika awal kali seorang suami menikahi istrinya, disyaratkan dia sudah memiliki “al-baa’ah” yaitu kemampuan untuk memberikan nafkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki al-baa’ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)


Sebagian ulama menafsirkan kata “al-baa’ah” dengan kemampuan memberikan nafkah, sebagian lain menafsirkan dengan kemampuan berjimak. Namun pendapat yang terkuat adalah tafsiran yang pertama yaitu kemampuan memberikan nafkah. Tafsir kedua dinilai kurang kurang tepat, karena seruan hadits ini adalah kepada para pemuda. Pemuda hampir bisa dipastikan memiliki kemampuan berjimak, bahkan sebagiannya membara.


Kesimpulannya, harus dilihat sang istri berniat meminjam untuk apa, jika untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka suami wajib memberinya secara cuma-cuma sebagai nafkah. Namun jika digunakan untuk keperluan bisnis atau sejenisnya maka statusnya mungkin bisa sebagai pinjaman.


Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)


keluarga, nafkah, rumah

Thursday, February 3, 2022

Mahzab Syafi'i, Antara Relegiusitas dan Spiritualitas

Antara Fakih dan Sufi menurut pandangan Imam Syafi' | Mahzab Syafi'i, Antara Relegiusitas dan Spiritualitas

 

‎فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا *

 فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى 

* وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah  mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf sekaligus, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih saja maka dia itu kejam , hatinya tidak bertakwa.
Sedangkan yang hanya menjalani tasawuf saja maka dia día jahil,  akalnya tidak bertakwa,
 maka bagaimana bisa dia menjadi baik?

(Diwan Imam Syafi'i)




HADIS PUASA DI WAKTU RAJAB



Imam al-Nawawi berkata:

“Tidak ada larangan dan pujian yang ditetapkan untuk bulan Rajab itu sendiri, NAMUN, 
(1) prinsip tentang puasa adalah bahwa itu terpuji dalam dirinya sendiri, dan 
(2) dalam Sunan Abu Dawud Nabi telah membuat puasa bulan-bulan suci yang terpuji, dan Rajab adalah salah satunya.”

Hadits Puasa Rajab

1. Utsman ibn Hakim al-Ansari berkata: “Saya bertanya kepada Saʿeed ibn Jubayr tentang puasa di Rajab, dan kami kemudian melewati bulan Rajab, dimana dia berkata: “Saya mendengar Ibn Abbas berkata: “Rasulullah menggunakan untuk berpuasa terus menerus sehingga kami pikir dia tidak akan membatalkannya, dan tidak melakukannya terus menerus sehingga kami pikir dia tidak akan berpuasa." Muslim dan Abu Dawud menceritakannya dalam Kitab al-sawm, masing-masing dalam bab tentang puasa di luar Ramadhan, dan dalam bab puasa di bulan Rajab.

Imam Nawawi berkata: “Tampaknya makna yang disimpulkan oleh Saʿeed ibn Jubayr dari laporan Ibn Abbas adalah bahwa puasa di bulan Rajab tidak dilarang dan tidak dianggap terpuji, melainkan hukumnya sama dengan bulan-bulan lainnya. Tidak ada larangan dan terpuji yang ditetapkan untuk bulan Rajab itu sendiri, namun prinsip tentang puasa adalah bahwa itu terpuji dalam dirinya sendiri, dan dalam Sunan Abu Dawud(*) Nabi telah menjadikan puasa suci bulan terpuji, dan Rajab adalah salah satunya. Dan Allah lebih mengetahui.” Sharh Sahih Muslim Kitab 13 Bab 34 #179.

(*) Kitab al-siyam, Bab: "Puasa Selama Bulan Suci". Juga dalam Ibn Majah dan Ahmad, hadits tentang orang yang mengulangi: "Saya dapat menanggung lebih banyak," dan kepada siapa Nabi akhirnya berkata: "Puasalah selama bulan-bulan suci." Maka bahwa Ibn Umar menetapkan berpuasa selama bulan-bulan suci: Musannaf Abd al-Razzaq 4:293, Musannaf Ibn Abi Shayba 1:125.

2. Abdullah, budak Asma' putri Abu Bakar, paman dari pihak ibu dari putra 'Ata', melaporkan: "Asma' mengirim saya ke Abdullah bin Umar dengan mengatakan: "Telah sampai kepada saya kabar bahwa Anda melarang penggunaan dari tiga hal: jubah bergaris, kain sadel yang terbuat dari sutra merah, dan puasa sebulan penuh Rajab." Abdullah berkata kepadaku: "Sejauh apa yang kamu katakan tentang puasa di bulan Rajab, bagaimana dengan orang yang menjalankan terus menerus? puasa? Dan sejauh apa yang kamu katakan tentang pakaian bergaris, aku mendengar Umar ibn al-Khattab mengatakan bahwa dia telah mendengar dari Rasulullah : "Barangsiapa yang memakai pakaian sutra, tidak ada bagian baginya (di akhirat)." Dan saya khawatir garis-garis itu adalah bagian darinya. Dan sejauh menyangkut kain sadel merah, inilah kain sadel Abdullah [=miliknya] dan berwarna merah. Aku kembali ke Asma' dan memberitahunya, jadi dia berkata: "Ini adalah jubah (jubba) Rasulullah ," dan dia mengeluarkan kepadaku jubah yang terbuat dari kain Persia dengan ujung (sutra) brokat, dan lengannya dibatasi dengan brokat (sutra), dan berkata: "Ini adalah jubah Rasulullah dengan A'isha sampai dia meninggal, kemudian aku memilikinya. Rasulullah biasa memakainya, dan kami mencucinya untuk sakit sehingga mereka dapat berobat dengannya."" Muslim menceritakan dalam bab pertama Kitab al-libas.

Nawawi berkata: “Jawaban Ibnu Umar tentang puasa Rajab adalah mengingkari apa yang telah didengar Asma' tentang larangannya, dan ini merupakan penegasan bahwa dia berpuasa Rajab secara keseluruhan dan puasa secara permanen, yaitu kecuali hari-hari 'Id dan tashriq. Ini adalah mazhabnya dan mazhab ayahnya Umar ibn al-Khattab, A'isha, Abu Talha, dan lainnya dari Salaf serta Syafi'i dan ulama lainnya. Posisi mereka adalah puasa abadi adalah tidak dibenci (makruh).”

[Pendapat lain diriwayatkan dari Ibn Umar melalui sebuah hadits dari Ahmad yang dilaporkan dalam "al-Mughni" 3: 167 dimana dia tidak menyukai orang-orang yang berpuasa seluruh Rajab tetapi berkata: "Puasa sebagian dan berbuka sebagian." ]

* * * * *

Nawawi menambahkan: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa dianjurkan untuk mencari berkah melalui peninggalan orang-orang shalih dan pakaian mereka (wa fi hadha al-hadits dalil ala istihbab al-tabarruk bi aathaar al-salihin wa thiyabihim).” Sharh sahih Muslim Kitab 37 Bab 2 #10.

3. Bayhaqi menceritakan dalam Shuʿab al-iman (#3802): 
Abu Abdallah al-Hafiz dan Abu Muhammad ibn Abi Hamid al-Muqri berkata:
dari Abu al-ʿAbbas al-Asamm, 
dari Ibrahim ibn Sulayman al-Barlisi, 
dari Abdallah ibn Yusuf, 
dari Amer ibn Shibl, 
yang berkata: "Saya mendengar Abu Qilaba berkata:

“Ada istana di surga bagi orang yang berpuasa di bulan Rajab.”

Bayhaqi menambahkan: "Bahkan jika itu adalah mawquf di Abu Qilaba (yaitu tidak ditelusuri kembali ke Nabi) yang merupakan salah satu Penerus, seperti dia tidak mengatakan ucapan seperti itu kecuali jika itu terkait dengannya oleh seseorang yang telah mendengarnya. dari dia kepada siapa wahyu datang (yaitu Nabi ), dan kelanjutannya adalah dari Allah.""

Sholawat dan Salam atas Nabi, Keluarga, dan Sahabatnya 
GF Haddad ©