Islam telah memberikan garis pemisah yang jelas antara harta suami dan harta istri dalam sebuah rumah tangga. Di sisi lain, Islam juga mewajibkan seorang suami untuk menafkahi istrinya. Artinya, keduanya memiliki hak atas masing-masing hartanya, namun dalam harta suami ada hak istri, sedangkan harta istri adalah miliknya sendiri. Sehingga andai mereka berdua bercerai – wal ‘iyadzu billah – tidak perlu ada yang namanya pembagian harta gono-gini, karena harta istri adalah miliknya sendiri, sedangkan dalam harta suami ada hak istri.
Lantas, bagaimana dengan suami yang memberikan pinjaman harta kepada istrinya? Maka kita lihat, niatnya meminjam untuk kebutuhan apa? Jika diperuntukkan untuk kebutuhan makan dan berpakaian maka yang seperti ini bukanlah pinjaman, melainkan sebuah bentuk nafkah yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada istrinya.
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami kepada istrinya. Lantas beliau bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian.” (HR. Abu Daud no. 2142, shahih)
Hadits ini menjelaskan bagaimana kaedah dalam memberikan nafkah, khususnya pada kebutuhan-kebutuhan primer/pokok. Jika suami makan enak maka sepatutnya istrinya juga diberi makanan yang enak, jika suami berpakaian bagus maka istrinya juga diberi pakaian yang bagus, demikian seterusnya.
Sehingga kalau seorang istri berniat meminjam uang ke suaminya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka dia urungkan niatnya, karena suaminya wajib memberikannya secara cuma-cuma sebagai nafkah dan justru berdosa jika tidak memberikannya. Jadi, sebenarnya istri tidak harus pinjam, suamilah yang harus peka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok istrinya, karena dia akan dimintai pertanggungjawabannya.
Bahkan ketika awal kali seorang suami menikahi istrinya, disyaratkan dia sudah memiliki “al-baa’ah” yaitu kemampuan untuk memberikan nafkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki al-baa’ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)
Sebagian ulama menafsirkan kata “al-baa’ah” dengan kemampuan memberikan nafkah, sebagian lain menafsirkan dengan kemampuan berjimak. Namun pendapat yang terkuat adalah tafsiran yang pertama yaitu kemampuan memberikan nafkah. Tafsir kedua dinilai kurang kurang tepat, karena seruan hadits ini adalah kepada para pemuda. Pemuda hampir bisa dipastikan memiliki kemampuan berjimak, bahkan sebagiannya membara.
Kesimpulannya, harus dilihat sang istri berniat meminjam untuk apa, jika untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka suami wajib memberinya secara cuma-cuma sebagai nafkah. Namun jika digunakan untuk keperluan bisnis atau sejenisnya maka statusnya mungkin bisa sebagai pinjaman.
Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)
keluarga, nafkah, rumah